AIRPLANE 2: PERKENALANKU YANG TERLAMBAT

Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, sungguh, tetapi ini tahun ketigaku di dunia blog dan aku bahkan belum sekalipun memperkenalkan diriku. Jadi, bagaimana dengan memperkenalkan diriku terlebih dahulu? Tidak? Bagaimanapun aku akan melakukannya. Kalian tidak lihat judul tulisanku, itu tentang perkenalan dan aku akan melakukannya.

My name is Widya, W i d y a (spell in english!), tetapi sejak 5 tahun lalu aku memilih menggunakan nama koreaku (Han Yong Ra) di semua akun media sosialku dan entah bagaimana setiap orang mulai memanggilku demikian bahkan di kehidupan sehari-hariku. They always call me like that.

Aku jenis orang dengan pemikiran yang sedikit aneh dan nyentrik, seperti aku lebih menyukai jika orang-orang memberiku hadiah satu kardus cotton bud dari pada buket bunga di hari-hari spesial. Aku tidak menyukai ceremony wisuda karena itu menumpuk banyak sampah dan ketidaksadaran semua orang akan menyusahkan para petugas kebersihan. Sial, so disgusting. Kupikir lulus saja cukup (your experience and knowledge is more important), tidak perlu berfoto disegala penjuru dengan toga, buket bunga, dan calon pendamping hidup yang mendekap mesra. Tidak perlu (in my opinion). Selain itu, aku menyukai hal-hal yang penting dan aku sedikit ‘Wangja (Yang Mulia)’ like full of myself. Aku juga lebih menyukai kata “ingin” daripada “harus” karena itu menunjukkan bahwa aku memiliki pendirian dan tentu aku memahami koridornya. Aku cukup straightforward dan mencintai banyak hal khususnya negara-negara di dunia dan laki-laki tampan di usia 30an (astaga aku membicarakannya, kukira aku hanya menyebutnya dalam pikiranku).

buket-peach-4
 flowerbe.co

Sejauh ini aku tidak merasa diriku keren, hanya saja aku menyukai dunia yang kuciptakan dan aku merasa itu cukup bisa kusebut keren (self hypothesis). Aku jenis orang yang tidak memiliki cukup banyak teman karena aku terlalu sering bercengkerama dengan pikiranku juga tumpukan bukuku yang bahkan tidak memiliki 1 detik waktu pun untuk menghakimi, namun dengan senang hati berbagi pengetahuannya denganku. Terdengar antisosial memang, tetapi bukan itu, aku hanya introvet (pemilih) atau lebih tepatnya disebut Weird Introvet (pemilih yang aneh).

Aku tidak tahu apa ini berlebihan, tetapi aku banyak membaca buku dan itu membuatku cukup analitis dalam banyak hal (kamu harus membiarkan orang lain yang mengatakannya Widya). Aku tahu itu benar-benar wangja tetapi begitulah aku merasakan diriku. Aku mencintai banyak hal, mulai dari hal sederhana seperti yang sudah kukatakan tadi, cotton bud hingga hal-hal menyenangkan (new knowledge, travel, language, coffee, etc), serius (Hukum, kedokteran, psikologi) dan sangat serius seperti politik, humanistic, science, dan filsafat. Keterbatasanku dimasa lalu lah yang menumbuhkan rasa penasaran dalam diriku yang pada akhirnya membawaku membuka diri untuk mencintai banyak hal.

Bud1
http://www.nubimagazine.com

Tunggu, kamu bertanya seberapa terbataskah?

Uhm…bayangkan saja daerah pedalaman terisolasi. Itu deskripsi paling realistis dari kampung halamanku. Cobblestone street (jalan batu) and no internet access. Yang aku ingat, jika aku tidak pernah berjumpa dengan buku juga pengalaman traveling yang ditawarkan ibuku maka aku mungkin masih akan hidup dibawah batu sekarang. Big thankful to my beloved eomma. Mungkin juga aku tidak akan memiliki kesempatan berteriak “Oppa, neomu paboya”, “Michigeda”. Jangankan itu, kabar negaraku saja, tidak yakin aku mendengarnya tepat waktu, apalagi kabar dari negara lain. It sounds just impossible, but…I make it. Jika harus menyebutkan my hwa ya yeong hwa (the most beautiful moment in life) maka itu adalah pertemuan pertamaku dengan buku dan traveling belasan tahun lalu. Terkadang sulit untuk mempercayainya tetapi ini nyata, dan aku melihatnya. Itu selalu terdengar luar biasa untukku.

Seperti yang sempat kusebutkan diatas, aku cukup aneh dan banyak orang bertanya-tanya mengapa aku demikian. Baiklah, aku akan menjawabnya. Hal yang membuatku terdengar aneh ada dua hal. Pertama, aku membaca banyak buku dan aku mengoleksi banyak pengetahuan dan info terbaru. Side effecnya banyak orang tidak bisa mengerti jalan pikiranku karena perbedaan kebiasaan. Aku tidak sedang menyebutkan bahwa aku smart dan rajin. Aku cenderung malas dan laidback namun confident dan curiosity-ku lah yang membuatku terdengar seperti aku mengetahui banyak hal. Setiap kali aku membaca, yang aku rasakan adalah aku semakin tidak tahu karena setelah selesai membaca aku akan mempertanyakan hal itu. Kemudian ketika itu terjawab dia akan kembali menciptakan pertanyaan lainnya, terjawab lagi, timbul pertanyaan lagi dan begitu seterusnya.

Kedua, aku cukup imajinatif dan tidak menutup kemungkinan aku berpikir sangat dalam tentang keanehan. Sialnya, terkadang aku tidak bisa menyembunyikannya dengan baik dalam otakku dan malah membicarakannya dihadapan orang lain, dari sanalah kemudian mereka menilaiku aneh karena apa yang seharusnya hanya kuimajinasikan malah aku bicarakan dihadapan kelompok orang normal. Tentu saja aku di cap aneh. Sangat beralasan.

Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, pemikiranku sulit untuk dimengerti orang lain. Sekali lagi aku membaca banyak buku dengan beragam genre dan itu meningkatkan kepekaanku juga wawasanku. Dari sana aku mulai menggelisahkan banyak hal yang berdasar banyak buku yang kupelajari tidak sesuai tempat. Terkadang aku bisa secara instan dan cepat menempatkan diriku untuk memahami, namun ada kalanya aku mengkritisinya cukup dalam dan aku belum bisa mengatakan “Ah igeo gwenchana (Ah, ini tidak apa-apa), aku bisa menerimanya”. Akhirnya aku bersikap – yang dianggap orang lain sebagai keluhan.

Dari sana aku mendapat banyak pelajaran nyata bahwa, memang tidak mudah bersikap empatik. Itu terlalu seperti mimpi. Men-judge dengan kecepatan cahaya memang lebih mudah dilakukan (dan memang banyak dilakukan) dari pada mendengar secara empatik, Kalian mungkin tidak sadar bahwa kalian sedang memaparkan autobiografi kalian pada masalah orang lain. Padahal berdasar pengamatanku “Satu masalah yang sama, yang terjadi pada dua individu berbeda tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama karena faktor pendukungnya yang juga berbeda pada setiap individu”. Jadi, tolong telusuri lagi jika kalian memberi nasihat pada orang lain.

“Oh, apakah aku telah mendengar secara empatik ataukah aku sedang memaparkan autobiografiku yang tidak ada menarik-menariknya itu. Damn, that’s terrible.”

Jujur, aku juga pernah melakukannya dan aku memperbaikinya.

Aku punya cerita aneh, jadi aku sedikit bermasalah dengan dosen pembimbing Tugas Akhirku. Beliau ini lebih menyukai jalan yang berkelok-kelok meskipun ada jalan lurus yang bisa memangkas waktu tempuh. Aku selalu bertanya AADB (Ada Apa dengan Beliau?). Ini merugikanku dan aku tidak bisa menerimanya. Kami sama-sama sibuk dan jika kami bisa sama-sama mengefektifkan waktu, jelas itu akan menjadi keuntungan menarik bagi kedua belah pihak. Herannya itu tidak bekerja. Kupikir budaya negaraku memang demikian.

Lebih menyebalkan lagi, beliau mengkritik hal-hal tidak penting seperti kenapa aku tidak menghadiri seminar A dan lainnya? Kalau begitu aku juga ingin bertanya “mengapa aku harus melakukannya (menghadiri seminar)? Aku mengetahui adanya seminar itu tetapi aku tidak berpikir itu menguntungkanku. Seminar tentang kecap.

Sejauh ini aku selalu memilih banyak hal dengan intuisiku dan aku merasa itu tidak akan menarik. Faktanya, itu bahkan tidak meleset sedikitpun. Oh ayolah, si seminar kecap itu, yang memaparkan cara pembuatan kecap. Aku bahkan telah mendengarnya selama satu semester penuh dan saking muaknya aku bahkan tidak bisa memakan kecap lagi.

Aku ingin bercerita satu hal lagi, dalam buku The 7 Habits for Highly Effective People, Steven menyebutkan tentang lingkar pengaruh atau menciptakan lingkar pengaruh. Itu terdengar sangat menarik dan aku pikir itu bisa menjadi salah satu solusi masalahku, akhirnya aku memutuskan untuk mencobanya.

-skip-

Hasil akhirnya, itu berhasil pada banyak orang dan yang paling membuatku surprise dan ingin kuceritakan adalah uji cobaku dengan ibuku.

Kami jenis orang yang aneh (indeed). Ibuku cukup terbuka namun dibeberapa topik masih sering membawa pengalaman masa lalunya (generasi X). Sedangkan aku, cukup terbuka juga namun dalam beberapa hal kami benar-benar akan sangat sengit meskipun kami bercengkerama yang sesekali disisipi tawa. Berdasar hasil pemindaian diatas, akan sangat menarik jika aku berbicara dengan warna baru pada beliau demi menuntaskan rasa penasaran yang terkadang membuatku tercekik.

Mulailah aksi remake ala-ala Widya zaman masih jadi anggota reporter majalah SMA dulu. Aku bikin tuh daftar pertanyaan seperti ketika kita akan mewawancarai seseorang yang cukup berpengaruh. Telepon kami tersambung dan aku mengawalinya dengan menyepakati MOU. Setelah kami saling memahami peran kami masing-masing, mulailah prosesi tanya jawab itu. Singkat cerita, kami sama-sama straightforward dan aku mendapat semua jawaban yang kuperlukan.

Waktu berlalu dan teleponku berdering kembali, namun seperti yang sudah terduga, aku melewatkannya. Aku cenderung tidak menyukai ponsel karena aku merasa terganggu dengan keberadaanya dan aku selalu melupakan dimana aku meletakkannya. Beberapa jam kemudian aku menyadari notifikasi panggilan tak terjawab di ponselku, Eomma (bunda). Aku memutuskan untuk memanggil kembali, seperti biasa beliau selalu menjawabnya setepat jadwal sholat lima waktu. Percakapan kami mengalir dan tiba-tiba beliau menyampaikan banyak hal. Tahu apa, aku terkejut karena mendapati beliau yang empatik. Beliau menyebutkan banyak referensi yang dibacanya dan mulai memahami jalan pikiranku yang terlihat selalu melenceng di mata orang lain. Itu menarik dan disisi lain aku mendapat momen yang tepat untuk mengekspresikan diriku. Aku berhasil menciptakan lingkar pengaruhku dan kami berjalan di titik yang sama winwin solution.

Ini bukan pertama kalinya winwin solutionku berhasil, namun ini yang paling luar biasa dan aku cukup terkejut. Kami memiliki gap generasi yang tidak tanggung-tanggung jauhnya. Generasi X akan memuja pengalaman hidupnya yang dipenuhi dramatisme pasca penjajahan, sedangkan generasi milenial percaya dengan dunia milenialnya yang tentunya sangat jauh berbeda dengan generasi X. Kemudian ketika kami bisa menyepakati winwin solution, itu terdengar seperti keajaiban saja. Terkadang sulit untuk mempercayainya namun ini menyenangkan, seperti kami sedang berkemah di bawah pohon skaura di musim semi. Nilai plusnya, masalah teratasi.

Aku masih memiliki banyak hal untuk kukatakan tentang diriku, namun kupikir ini cukup untuk sekedar perkenalan. Jadi, tarik kesimpulanmu sendiri. Itu akan membantumu berpikir, dan berpikir akan membuka duniamu yang berkabut. Selamat mencoba, selamat berpikir dan senang berkenalan dengan kalian. Terima kasih untuk mengunjungi duniaku yang aneh ini. Ini membuatku tersentuh. Kiss ya…Cherioo..

P.s For my close friend Haha, Please, forgive me to be a wangja. Kemudian kenapa gambar utamanya kereta? Karena kereta perlu menempuh perjalanan selama beberapa waktu untuk sampai di tujuan dan aku juga sedang melakukannya. Melewati kantor imigrasi dan check in sebelum memasuki pesawatku yang akan take off sesuai jadwal keberangkatan. Hey, Mr. Airplane

Published by Queendya_cf

Manner

6 thoughts on “AIRPLANE 2: PERKENALANKU YANG TERLAMBAT

Leave a comment