FTD Chapter 2: Jogja Under The Rain

Jika harus menyebutkan satu hal yang paling aku cintai selain tempat yang cantik dan laki-laki 30an yang tampan, maka itu adalah buku. Buku tak banyak berbicara apalagi menciptakan kebisingan tetapi dia jelas memberikan solusi dengan sempurna. Sekarang katakan, apakah ada sosok sahabat yang lebih menguntungkan dari buku?

So, karena terlalu cinta dengan buku maka rencana yang awalnya traveling pun bisa menjadi ajang berkhianat. Ya, ini adalah jalan-jalan keduaku yang berakhir untuk huntingdedek baru’. Di travel pertama aku dapat buku keren karya Prof. Rhenald berjudul Self Driving, sedang untuk yang kedua, lihat aja deh nanti. By the way, ini adalah kujungan ke-11 ku di kota dimana Rangga dan Cinta berhasil membuat saya ketar-ketir. Ya, itu, kota itu, Yogjakarta dan lagi-lagi saya teringat dengan Rangga. Huh…“Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu, jahat”. *pasang muka dramatis ala Cinta*

CUT!!!!

Oke, forget it sebelum semuanya kembali ke topik Rangga naik taksi yang membosankan. So, penasaran apa yang saja yang aku lakukan di Jogja, berikut adalah hal-hal yang aku lakukan di kota Jogja di kunjunganku yang ke-11 kalinya.

Lonely and The Lonely Expens**t Book

Berbicara tentang traveling maka selalu ada Lonely Planet. Jadi, Lonely Planet ini disebut-sebut sebagai travel guide book pertama di dunia yang ditulis oleh sepasang suami istri bernama Tony dan Mauren Wheeler. Dalam Lonely Planet disebutkan bahwa mereka bertemu di sebuah taman di kota London. Satu tahun setelahnya mereka memutuskan untuk menikah dan melakukan apa yang orang sebut ketidakmungkinan untuk Crossing Europe and Asia overland, all the way to Australia.

Lonely Planet ini udah semacam Kitab Perry bagi anak-anak Teknik Kimia atau bisa disebut Al-Kitabnya traveler. Lonely Planet menyajikan informasi tentang sebuah negara dengan cukup lengkap mulai dari yang basic seperti ibukota, luas wilayah, jumlah penduduk hingga ke bagain terdetail seperti destinasi favorit, makanan khas lokal, transportasi, peta dan lainnya. Penyajiannya yang super lengkap ini kemudian menyebabkan beberapa orang menyebut bahwa kehadiran Lonely Planet telah menurunkan ke-virginan sebuah negara karena telah tertera dengan cukup mendetail.

Mungkin judgement itu bisa saja benar tapi untuk aku pribadi, aku tidak mempermasalahkannya. Aku hanya berpikir bahwa buku ini mempermudah perjalanan untuk tipe orang sepertiku yang lebih menyukai kepastian. Lagian, kita bisa bebas milih juga kan mau kemana, nggak harus ngikut Lonely Planet. Lonely Planet hanya sekedar panduan saja, bukan wajib diikuti.

So, karena aku pencinta travelling buku ini pun tak lepas dari incaranku sejak lama. Sayangnya buku ini sulit sekali diperoleh karena hanya dijual di toko buku tertentu saja. Terakhir aku dapat info bahwa buku ini bisa diperoleh dengan mudah di negara tetangga kita, Malaysia. Sialan sekali bukan? Akhirnya setelah sekian tahun, saya dapat informasi dari sebuah blog bahwa di Jogja ada toko buku impor. Nggak pakai lama saya langsung datengin itu toko buku dan…jeng jeng, serius aku yakin mata aku udah keluar selama beberapa detik setelah melihat satu rak berjudul Travelling and Language yang sebagian besar isinya adalah Lonely Planet. Oh may god, what the hell is it. Serius di beberapa detik pertama aku cuma bisa bengong saking kagumnya. Setelah kesadaranku terbangun aku langsung cek seri buku itu satu persatu dengan berbunga-bunga. Namun, alarm di kepala aku sontak berdering begitu melihat harga bukunya yang seluruhnya diatas 365 ribu rupiah. Perlahan mendung mulai berkumpul di atas kepalaku. Lebih dari itu, amnesia aku langsung berpindah ke mode on walaupun sudut mata ini tak berhenti berkhianat dengan terus melirik tajam ke deretan buku yang menari-nari mengejek. Sialan.

img_20170123_224203
This is really Heaven-Hell for me

Setelah keluar masuk toko beberapa kali dan menghabiskan nyaris 45 menit untuk memilih dua seri Lonely Planet dengan poling tertinggi hingga tangan ini serasa nyaris patah lantaran menahan beban sekian kilogram selama puluhan menit, akhirnya dengan berat hati aku memutuskan untuk memilih Lonely Planet First Edition The World. Untuk harganya sendiri, lupakan saja atau aku akan menyesal seumur hidup. Bahkan saking cukup mahalnya, cover bukunya aja sampai aku simpan. Nggak tega buat buang. And this is it…my lovely book is in my grasp now.*Kiss*

Pameran Lukisan apa Museum?

Setelah selesai mengisi perut yang berteriak nyaring, aku memutuskan untuk mengunjungi benteng Vredeberg. Benteng ini masih berada di Jalan Malioboro dan hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari Mall Malioboro dimana toko buku Periplus berada. Saat tiba di gerbang masuk terlihat beberapa rombongan yang telah selesai berkunjung dari Museum Benteng Vredeberg. Setelah termangu selama beberapa saat aku pun berjalan menuju loket penjualan tiket untuk mendapat tiket masuk.

Satu hal yang pertama aku rasakan adalah bersih dan cantik. Hmm…Indonesia berbenah. Aku memutuskan untuk memulai perjalanan dari gedung diorama 2. Sejak pertama memasuki ruangan dengan hawa yang sejuk saya langsung takjub…”ini baru museum”. Ruangan didalam didekorasi dengan sangat futuristik layaknya pameran lukisan. Pencahayaannya yang tepat semakin menonjolkan kesan elegan dari lorong-lorong yang ada di dalam Museum Benteng Vredeberg. Di dalam lorong ini juga terdapat kursi yang bisa digunakan untuk sekedar bersantai ria sambil menikmati diorama-diorama dan beberapa koleksi museum seperti mesin cetak tua yang digunakan untuk mencetak surat kabar di zaman itu.

img_20170123_224545
Lorong-lorong elegan dengan dua turis Tiongkok super berisik. Fakta Terbukti!!

Gedung diorama 2 ini berisi hal-hal seputar perjuangan bangsa Indonesia kala merebut kemerdekannya, khususnya di Yogjakarta. Informasi yang disajikan pun juga cukup lengkap. Selain itu, jika menginginkan informasi lebih detail dipasang beberapa Teve layar sentuh yang berisi informasi lengkap seputar koleksi yang ada di dalam museum. Jika masih kurang, pengelola juga menyediakan aplikasi guide khusus yang bisa di download di playstore, sayangnya aku lupa nama aplikasinya. Cara menggunakannya pun cukup mudah, cukup download aplikasinya-Instal-ambil foto barcode yang telah tersedia di museum-klik dan setelah itu kita bisa memperoleh informasi lengkap dalam berbagai bahasa yang bisa dipilih oleh pengunjung, tetapi karena aku baru tahu jadi aku nggak pakai aplikasi ini.

img_20170123_224629
Mesin cetak koleksi Museum Benteng Vredeberg.

Setelah puas aku menuju ruang diorama 3. Isinya pun tak jauh berbeda dengan diorama 2. Namun, di diorama 3 kita bisa menemukan tempat untuk bermain game yang dibeberapa sisi dindingnya dihiasi oleh lampu merah menyala. Rasanya seperti di game center. Hal itu didukung oleh kelakuan dua mas-mas yang heboh bermain game. Aku sempat mencoba bermain satu game dari dua game yang ada karena aku memang kurang tertarik dengan permainan game.

img_20170123_224433
Game Centre dan dua mas-mas heboh!

Selain itu, di gedung diorama 3 ini juga terdapat ruang gerilya yang sukses membuat aku deg-degan karena dateng sendirian. Aku pun buru-buru keluar dan menuju gedung diorama 4 yang letak bangunanya terpisah dari gedung diorama 2 dan 3.

img_20170123_224337
Gimana nggak deg-degan, manekin-nya seukuran manusia

Sekali lagi isinya pun tak jauh berbeda, dan setekah mengamati selama beberapa saat aku melanjutkannya dengan mengunjungi gedung diorama 1 yang koleksinya hanya seputar kemerdekaan dan zaman penjajahan. Setelah merasa cukup aku memutuskan untuk keluar dan berkeliling menikmati pelataran Benteng Vredeberg yang hijau dan bersih. Aku pun tertarik untuk mengambil beberapa foto untuk kemudian keluar dan melanjutkan acara jalan-jalan di sekitaran Malioboro dan tentu berbelanja.

img_20170123_224255
Red Flight here in Benteng Vredeberg. No photo face allowed. So, this is…

Saat itu cuaca kurang bersahabat, matahari bersinar cerah namun mendung bertengger dengan angkuh diatas langit kota Jogja siang itu. Setelah keluar masuk ke hampir semua toko yang ada, aku memutuskan untuk duduk dibangku taman yang telah disediakan sambil membaca buku ditemani segelas Coffee Caramel dingin.

img_20170123_224701
Lagi-lagi failed Europe…

Setelah satu jam, matahari mulai redup dan hujan gerimis mulai membasahi jalanan di kota Jogja. Tanpa pikir panjang aku memilih untuk segera menuju stasiun. Beberapa detik setelah sampai di dalam stasiun hujan turun dengan lebatnya, namun berhenti tak lama kemudian. Aku bergegas membeli tiket kereta yang akan berangkat sekitar 45 menit lagi. Setelah memperoleh tiket aku memutuskan untuk menunggu di ruang tunggu sambil kembali melanjutkan untuk membaca buku.

img_20170123_224715
Eropa rasa Jogja. Love it!

Entah kenapa setiap datang ke stasiun aku langsung berubah menjadi melankolis, apa ya… uhmm semacam merasa kehilangan…sesuatu seperti itu. Tapi aku bersyukur hal itu hanya terjadi di stasiun saja dan bukan di bandara, bisa ribet urusannya kalau melankolisnya di bandara. Whatever that, setelah menunggu selama beberapa saat kereta pun datang dan aku bersiap kembali ke Solo ditemani gerimis yang sesekali turun juga obrolan lirih dua bapak yang sibuk mengkritisi birokrasi di negeri ini. Datang disambut hujan, pulang pun diantar hujan. See you Jogja.

QueenDya

Ps: By the way aku nggak ketemu mas-mas ganteng yang kemarin. Sayang sekali, imajinasi liar aku tidak diridhoi Tuhan ternyata.

Published by Queendya_cf

Manner

5 thoughts on “FTD Chapter 2: Jogja Under The Rain

Leave a comment